Create Your First Project
Start adding your projects to your portfolio. Click on "Manage Projects" to get started
Alas, Hyacinthus
Spin-Off
by Zoë Hárst
Date
May 2024
Tidak ada kisah pahlawan yang berakhir bahagia. Itulah sebuah fakta yang tidak dapat disangkal dan kisah ini adalah salah satunya.
Seorang pria muda tampan sedang berlatih melempar diskus di arena belakang istana, menggunakan waktu luang yang jarang sekali tersedia. Pantulan cahaya matahari membuat kulit coklatnya semakin eksotis, senada dengan rambut gelapnya. Warna maniknya berbeda, iris berwarna ungu di mata kiri dan biru di mata kanan. Akibat beberapa lemparan yang terlalu kencang, beberapa diskus terlempar hingga luar arena dan masuk ke perbatasan hutan.
“Pangeran, Yang Mulia telah memanggil anda.”
Teguran itu datang dari pria paruh baya yang berada di sisi terluar lapangan tempatnya berdiri. Pangeran itu mengangkat tangan untuk mengangkat beberapa diskus yang terlempar jauh karena latihan tadi, peluh keringat jatuh membasahi rerumputan di bawahnya.
Panggilan ayah tidak boleh diabaikan atau ia akan menerima hukuman. Dengan napas yang sedikit terengah ia membatin dalam hati. Begitu diskus kembali dalam tangannya, tubuhnya ditegakkan.
Hah...
Dan saat itulah Sang Pangeran bertemu dengannya.
Dia membuka mulutku dengan rasa terkejut karena keindahan di depannya.
Matanya bertatapan dengan sepasang mata seungu dan secerah batu amethyst yang memantulkan cahaya. Bingkai mata laki-laki itu seperti dilukis oleh seorang wanita. Ia merasakan kelancangan dan ketidakhormatan yang dilakukan menjalar ke seluruh tubuh, otaknya memerintahkannya untuk berlutut dan meminta maaf. Tapi tidak dengan hatinya.
Faktanya, sepasang manik itu sekarang melihat fitur keindahannya yang lain. Kulitnya sangat cerah dan halus, bersinar secara tidak manusiawi. Bibirnya merah muda dan memiliki lengkungan kerucut yang menarik. Bulu matanya sangat lentik berwarna coklat dengan pirang pada ujungnya. Sepirang rambut yang menjuntai panjang ke lututnya. Ia mengenakan hiasan kepala berbentuk daun untuk menjaga poni kanan dan kirinya agar tidak berantakan.
Mereka berjarak sangat dekat. Sangat dekat hingga si manusia dapat mencium aroma tubuhnya, madu emas yang berpadu dengan bunga-bunga bernektar. Aroma ini tidak pernah ia cium dan kenali dari parfum termahal para bangsawan di manapun. Orang di hadapannya memiliki tubuh yang sangat wangi hingga ia tidak berani untuk bernapas.
Siapa yang cukup lancang untuk bernapas di hadapannya?
Menyadari sudah beberapa lama pangeran menatapnya dengan mulut yang menganga terlalu lama, ia menarik diri menjauh dan memalingkan wajah, mengatur napas yang tertahan akibat tidak berani mencium aroma tubuh itu. Dadanya yang awalnya sesak kini ditambah jantung yang ingin meloncat keluar saat merasakan sentuhan halus di pundak.
“Manusia fana. Bernapaslah.”
Suaranya halus dan semerdu lira yang dimainkan oleh penciptanya sendiri. Nadanya penuh dengan rasa peduli dan kasih sayang. Tanpa sadar, dadanya mulai mengambang-kempis secara normal kembali meski detak jantung masih berpacu secara tidak wajar.
Pangeran menarik napas dalam dan mengumpulkan konsentrasi kembali, menjaga wibawa sebagai seorang pangeran yang harus tampak sempurna di manapun.
“Terima kasih.”
Ucapan tersebut hanya terdiri dari dua kata itu saja, tapi rasanya butuh nyali dan usaha yang sangat besar untuk mengatakan itu di hadapannya. Ia memberikan senyuman paling cerah yang pernah dilihatnya, mengalahkan terik matahari di atas seolah-olah sosok tersebut lah yang sesungguhnya yang menerangi dunia ini.
“Namamu?” Tanya si pria pirang sambil memiringkan kepala. Pangeran berkulit dan berambut coklat dengan sepasang mata yang berbeda warna mengulurkan tangan untuk berjabat, sudah lupa dengan panggilan ayahnya.
“Hyacinthus, putra bungsu Raja Amyclas.” Ia akhirnya mengenalkan diri pada orang asing itu, dibalas sebuah anggukan senang.
“Pangeran Hyacinthus dari Sparta, kalau begitu? Aku kebetulan berada di sini dan melihatmu. Kemampuan atletikmu sangat mengagumkan.” Pujian memang seringkali datang kepadaku seperti panggilan nama sehingga aku tidak merasakan apa-apa lagi dari pujian-pujian itu.
“Terima kasih.” Oh Hyacinth bodoh! Kaku sekali, kenapa berterimakasih lagi? Aku menggaruk tengkuk dengan tidak sadar karena merasa gugup.
“Ayahmu memanggil, ingat?” Tegur pria satunya setelah beberapa saat mereka berdiam diri, mengembalikan kesadaran Hyacinthus yang awalnya hanya terpusat pada dia dan dia seorang.
“Oh benar, maafkan aku. Terimakasih telah mengingatkanku, aku harus pergi ke ruangan ayah.” Hyacinthus memeluk diskus-diskus yang dikumpulkan dengan buru-buru dan berjalan ke belakang, sesekali berbalik untuk menatap pria itu. Ia tersenyum dan terkekeh, melambaikan tangannya padaku.
Karena tidak fokus, Hyacinthus lupa menanyakan satu hal yang terpenting. Jarak mereka sudah jauh jadi ia berseru, “Siapa namamu?!”
Laki-laki indah itu akhirnya tersenyum hangat, kedua bahunya turun dengan lega seperti pertanyaan inilah yang ia tunggu sedaritadi.
“Apollo Lo’xias Zenides!”
Jantung Hyacinthus kembali ingin meloncat begitu mendengarnya. Apollo Zenides… Apollo yang itu? Zenides berarti putra Zeus. Seorang dewa? Pikirannya kembali kacau.
Dewa atau manusia, yang pasti ia ingin bertemu lagi dengannya.
“Apakah kau akan kembali ke sini?!”
Dari kejauhan Apollo mengangguk, “Aku akan kemari setiap kali aku melihatmu bermain diskus dari Olympus.”
Sebuah senyuman sumringah menghias wajah Hyacinthus. Dengan satu lambaian tangan, Apollo tidak lagi melihat punggung pangeran itu. Sang Dewa Matahari menatap langit sore untuk sesaat sebelum beranjak kembali ke takhtanya.
°。༺ ⚜ ༻。°
Hari, minggu, bulan berlalu. Apollo selalu menepati janjinya untuk datang ke Sparta, dari yang awalnya hanya mengamati sampai ikut duduk di bangku dan menyemangatinya. Hyacinthus beberapa kali mengajari Apollo cara bermain diskus, sementara Apollo juga cukup sering mengajak Hyacinthus berjalan-jalan dan belajar cara memainkan lira.
Mereka cukup dekat dalam hitungan bulan dan menurut Hyacinthus, Apollo adalah teman yang sangat baik.
Namun, Hyacinthus adalah seorang darah biru yang sangat rupawan. Begitu tampan hingga Dewa Matahari menoleh padanya, bahkan tidak hanya dia. Zephyros, dewa yang mewakilkan angin barat dari empat Dewa Angin, tidak begitu menyukai fakta bahwa Hyacinthus lebih memilih untuk bermain bersama Apollo dibanding dengannya.
Jika Zephyros tidak bisa memiliki Hyacinthus, maka siapapun tidak akan ada yang bisa. Lalu semuanya berubah menjadi runtutan tragedi.
Suatu hari Apollo mengajak Hyacinthus untuk bermain lempar diskus, kala itu angin barat bertiup begitu kencang. Apollo awalnya ragu karena suasananya kurang cocok untuk main lempar-lemparan, tapi Hyacinthus meyakinkannya untuk bermain. Keduanya masih dapat tertawa dan berlari girang layaknya anak kecil. Rumput ikut menari bersama mereka, kicauan burung menemani gelak tawa Sang Dewa dan Pangeran.
“Tangkap, Hyacinthus!”
Mengangguk, Hyacinthus melompat dan menangkap diskus yang datang padanya dari Apollo. Rutinitas lama yang tidak akan menjadi membosankan, bermain lempar diskus sudah seperti kegiatan wajib mereka ketika bertemu. Lapangan ini memiliki ingatannya sendiri, sebagai panggung sandiwara yang menyaksikan betapa kejamnya dunia ini pada seorang manusia.
“Sekarang giliranku. Perhatikan baik-baik ya, Apollo!”
Dewa Matahari itu hanya tertawa manis melihat Hyacinthus bersiap dan melempat diskusnya dengan kekuatan penuh.
Begitu pula dengan kekuatan Sang Dewa Angin.
Diskus yang sedang melayang di langit terdorong angin, menyebabkan arah tujuannya berubah. Hyacinthus mengangkat kedua alisnya, berlari ke depan untuk menangkapnya sendiri. Apollo tampak bingung.
“Jangan lari terlalu kencang, Hyacinth!”
Apollo seharusnya mengkhawatirkan hal selain kecepatan lari Hyacinthus. Karena diskus itu terbang dengan kecepatan penuh menuju kepala si pangeran.
“…Hyacinthus!”
Kedua mata Apollo terbuka lebar begitu cipratan darah mengotori wajahnya. Kulitnya menjadi pucat pasi, tidak jauh berbeda dengan laki-laki yang terjatuh di sana. Apollo berlari kaku, membawa Hyacinthus ke dekapannya.
Tubuh manusia itu dingin. Setengah bagian kepala atasnya hancur, napas dan nadinya tidak teraba.
“Apollo…”
Nama itu menjadi kata terakhir yang lepas sebelum tubuhnya terkulai lemas.
Pikiran Apollo kacau. Hati dan otaknya sepakat dengan satu kondisi: panik.
“Tidak. Tidak, tidak, tidak. Hyacinthus. Hyacinthus, bangun, Hyacinthus! Jangan berani-beraninya kau meninggalkanku sekarang. Jangan membantah perintah dewa!”
Rasa bersalah mulai menyelimuti dirinya. Ia yang mengajak Hyacinthus untuk bermain meski ia tahu kondisinya kurang memungkinkan. Kemudian saat diskus itu terbang, Apollo tidak menyelamatkannya. Padahal ia seorang dewa.
Apollo hanyalah seorang dewa yang masih muda. Cara berpikirnya masih naif, ia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang paling menarik karena tidak memiliki keabadian. Ia seringkali berpikir, apa enaknya hidup dibatasi?
Lantas kali ini, Apollo memahami semuanya. Keabadiannya adalah kutukan. Ia mencoba segala kekuatan penyembuhan yang dimiliki untuk menyembuhkan Hyacinthus, namun manusia yang telah mati tentu saja tidak bisa sembuh. Apollo juga memohon kepada Hades untuk menghidupkan kembali Hyacinthus, yang jelas sekali ditolak. Dengan hati yang bersedih, Apollo memohon permintaan terakhirnya: agar Hyacinthus tidak dibawa ke Tartarus.
Apollo mengangkat tubuh Hyacinthus dan mulai berjalan pulang. Luka terbuka yang masih mengalir darah itu terus menetes di atas rerumputan yang mereka lalui.
Dalam setiap langkahnya Apollo menangis dan berbisik ‘alas’ yang berarti maaf. Setiap tetesan darah tumbuh menjadi bunga berwarna biru dan ungu, sewarna dengan kedua mata Hyacinthus. Air mata Apollo yang jatuh membasahi bunga juga membentuk bekas dan motif di setiap bunganya. Dengan hati penuh duka, mereka berjalan pulang.
°。༺ ⚜ ༻。°
Teruntuk Hyacinthus, Pangeran Sparta, putra dari Raja Amyclas.
Dari Apollo, Dewa Matahari dan Musik.
Permintaan maaf ini kuukir pada raga tanpa nyawamu dengan penuh penyesalan.
Aku peduli padamu dan akan selalu peduli padamu.
Sebagai seorang teman,
Sebagai sesosok yang amat menyayangimu,
Dan sebagai sesuatu yang tak pernah bisa dikembalikan dari setiap tetes darahmu yang membuat bunga-bunga bermekaran di atas tanah kematian.
Alas, Hyacinthus.
°。༺ ⚜ ༻。°