top of page

Create Your First Project

Start adding your projects to your portfolio. Click on "Manage Projects" to get started

May Godfather Bless the Triumph

Spin-Off

A short story made for vrtgern_

Date

November 2023

Cosa Nostra Headquarter,
21 November 2022, 09.20

“...Terhitung penjualan narkotika mengalami peningkatan pesat dalam beberapa bulan terakhir. Barang sitaan terbesar yang diterima oleh Badan Narkotika adalah shabu–.”

“Shabu, lagi?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang pria tua berparas buruk, jelas sekali tidak menerima informasi tersebut. Warna kulitnya merah seperti kepiting rebus, buku-buku jarinya yang gemuk mengetuk meja dengan tidak sabaran. Alih-alih mendapat jawaban dari presentan, ia justru mendapat komentar dari pria lain yang duduk di sampingnya.

“Sangat tidak etis memotong ucapan seseorang yang sedang bicara, Tuan.”

Kini seluruh perhatian terpusat pada pria itu. Seseorang yang sedang duduk dengan tegak pada kursinya yang mewah, jas yang dibuat khusus oleh Brioni menghias tubuhnya yang muskular dengan sempurna. Kulitnya putih dengan rambut berwarna hitam rapi, matanya menatap dan memperhatikan gerak-gerik di sekitarnya dengan tajam.

“Seluruh Cosa Nostra mengetahui bahwa narkotika golongan metamfetamine-lah yang berkuasa di dunia. Kemudian Anda, selaku salah satu pemimpin dari Cosa Nostra, tidak menerima fakta itu?” lanjutnya dengan tenang, tangannya dengan handal menutup pulpen yang baru saja ia gunakan untuk menandatangani kontrak.

“Kau—”

“Ada apa?”

Ruangan rapat itu mendadak sunyi. Dinding-dinding berwarna putih yang memantulkan cahaya kekuningan dari lampu memberikan sedikit kehangatan pada perwakilan dua belas organisasi terbesar penguasa dunia, Cosa Nostra.

“Kartel narkotika milik Los Zetas kalah kali ini dan Anda harus bisa menerima fakta itu, karena Anda adalah pimpinan Los Zetas. Selain itu, kartel lain di Meksiko juga… mengecewakan. Sebagian besar anggota Sinaloa tertangkap polisi, kemudian penjualan Jalisco Nueva menurun. Benar begitu?”

Cosa Nostra, atau yang lebih dikenal orang awam sebagai “Mafia”, secara etimologi memang berarti mereka yang berkuasa atas monopoli kekuatan dan keuangan. Cosa Nostra terdiri dari dua belas organisasi yang berasal dari negara berbeda, saling berusaha untuk menyalip satu sama lain. Singkatnya, seluruh organisasi mafia yang ada di dunia merupakan bawahan dari Cosa Nostra. Monopoli yang dilakukan oleh para orang kaya keji ini selalu berputar pada narkotika dan tanah. Pada pertemuan kali ini pun, mereka kembali membahas hasil penjualan dan kontrak obat-obatan terlarang.



Akan tetapi, layaknya sekawanan singa, setiap organisasi yang lebih besar tentu akan memiliki pemimpinnya sendiri. Dan di sana lah takhta dari yang paling kuat akan berdiri.

“Pembicaraan ini terlalu bertele-tele. Kegagalan distribusi obat di Meksiko, Jepang, dan Korea disebabkan Omerta yang melemah. Kode etik Omerta harus ditegaskan kembali tanpa terkecuali. Selama tidak ada penurunan dari total penjualan seluruh dunia, strategi akan dijalankan sebagaimana mestinya. Saya izin pamit, terimakasih atas kesempatannya pagi ini.”

Tap tap

Suara langkah kaki pria itu terdengar menggema selagi ia keluar dari ruangan, meninggalkan rapat yang menurutnya sangat menyita waktu itu. Lagipula, untuk apa ia berada di dalam tempat yang sama dengan kawanan mangsa bodoh? Dungu, bahkan.

“Tuan Rain,” panggil seseorang, berhasil membuat pria yang dipanggil berhenti di lorong. Rain membalikkan tubuhnya untuk melihat seorang bawahan yang diutus untuk menemaninya hari itu berjalan mendekat.

“Ya?”

“Anda meninggalkan rapat dua puluh menit lebih awal. Apa ada kendala?” Rain menggelengkan kepalanya.

“Tidak ada. Tolong bacakan jadwal selanjutnya,” perintah Rain, disusul dengan anggukan.

“Baik. Agenda Anda selanjutnya adalah rapat koordinasi dengan anak organisasi yang baru saja terbentuk bulan lalu. Berikutnya hanya ada pertemuan kecil untuk menyetujui kontrak-kontrak lainnya.”

Rain menghela napas sejenak selagi bawahannya membuka pintu mobil untuknya, memikirkan waktu luang yang ia miliki untuk memejamkan mata sejenak.

“Ah ya, Tuan Viktor, Tuan Ivy, dan Tuan Ares telah menunggu Anda.”

***
Parasol Photo Studio,
21 November 2022, 09.45

“Rain~”

Panggilan yang cukup ceria itu datang dari seorang laki-laki dengan kulit tan dan rambut cokelat pendek. Matanya membentuk eye smile begitu melihat sosok tersebut masuk ke ruangan.

“Rain, selamat datang kembali,” sapa yang lain, kali ini berasal dari pria berambut merah muda. Ia sedang duduk di kursi, cahaya dari layar monitor di depan terpantul melalui matanya. Dalam sekejap, Rain mengangguk pelan.

“Viktor, Ares,” balas Rain pelan, berjalan menuju meja kerjanya di utara ruangan.

“Pulang lebih awal? Bagaimana tadi?” tanya Viktor bertubi-tubi, kembali menangkap perhatian Rain.

“Ya. Baik-baik saja. Kita masih memimpin di posisi pertama, strategi menggunakan shabu sebagai pengalihan isu memang sempurna,” jawab pria itu dengan dingin, ia duduk di kursi kerjanya. Tidak lama, sebuah sahutan terdengar.

“Aku setuju. Banyak sekali kriminal dan mayat yang teridentifikasi positif metamfetamin. Kalau kubilang banyak sekali, berarti banyak sekali,” seru seseorang dengan keras, bergabung dengan mereka dengan buru-buru. Ia menggunakan name tag bertuliskan ‘dokter Ivy, spesialis Forensik’.

“Ivy, suaramu terlalu keras,” komentar Ares tidak suka (niatnya hanya bercanda…). Ekspresi wajah Ivy kembali datar sekaku papan selagi ia berjalan ke arah Ares. Dokter forensik itu kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga temannya kemudian menarik napas dalam.

“KALAU BEGINI APA SUDAH CUKUP PELAN???”

“Goblok!”

“Pfft, ahaha!”

Sebuah tawa lepas dari mulut Viktor, membuat Rain menoleh ke arahnya.

Manis. Manis sekali… Tawa Viktor sangat manis.

Rona kemerahan menghias pipi dari pria yang seringkali dianggap dingin itu, matanya tetap terpaku pada Viktor yang sedang tertawa karena melihat dua temannya berkelahi.

BUK!

“Rain, lihat Ares dan Ivy itu!” suruh Viktor, masih tertawa terbahak-bahak. Tangannya memukul punggung Rain, mengejutkan pria itu.

Ah, Rain. Mikir apa dirimu ini?

Rain memejamkan matanya, menghiraukan ucapan Viktor sebelumnya begitu saja. Ia mulai membuka berkas yang tersusun rapi di atas meja.

“Masa?” ejek Ivy lebih lanjut, membuat Ares semakin jengkel.

“Tolol. Jauh-jauh dariku, kau bau mayat.”

“Permisi? Aku adalah ahli forensik terwangi sedunia. Lalu kau, Ares, adalah anak punk dengan rambut glow in the dark yang lebih aneh dariku. Jangan ejek aku bau.”

“Tapi kau mengakui kalau dirimu aneh?”

“Gak begitu juga…”

Viktor memanyunkan bibirnya karena Rain mengabaikannya, merasa sedikit bosan. Pemuda itu kemudian mendengar kertas-kertas yang sedang dibuka.

“Oh? Itu laporan yang aku tulis tahun lalu,” celetuk Ares, ia mendorong Ivy menjauh dan berjalan mendekati meja Rain. Dengan rasa penasaran, Viktor dan Ivy ikut mendekat. Di bagian teratas kertas itu tertulis dengan jelas:

LAPORAN EVALUASI AKHIR TAHUN
RING OF FIRE

“Ah… Sebentar lagi bulan itu.”

Viktor menyilangkan kedua lengan, wajahnya menjadi serius.

“Ring of Fire kali ini pasti akan sangat meriah,” komentar Ivy, tersenyum kecil membayangkan gajinya yang meningkat drastis karena mengingat banyaknya korban luka berat dari kegiatan ilegal tersebut.

“Benar. Kudengar partisipan tahun ini lebih banyak dua kali lipat, pendaftaran telah dibuka tiga bulan yang lalu dan akan ditutup besok. Aku akan segera minta bawahanku untuk sortir dan buat jadwal pertarungan mereka,” imbuh Ares, ia mengeluarkan ponselnya.

“Kasihan sekali ya,” gumam Viktor pelan, membayangkan beberapa wajah putus asa menatapnya dari dasar ring yang selalu ia kuasai selama bertahun-tahun. Mereka bertiga terkejut begitu Rain tiba-tiba berdiri dari kursinya dan bicara.

“Semuanya berjalan dengan sangat lancar. Peningkatan kasus narkotika membuat kepolisian sangat sibuk dan mengalihkan beberapa anggota sub departemen kriminal mereka ke departemen narkotika.”

Pemimpin organisasi mafia nomor satu di dunia itu tersenyum tipis, kemenangannya sudah terjamin secara tidak langsung. Dari sepuluh tahun yang lalu, hari ini, hingga tahun-tahun yang akan datang. Kemenangan sudah bagaikan bernapas untuk Parasol.

Lain dengan organisasi bawahan Cosa Nostra lainnya yang bergantung pada narkotika dan prostitusi untuk meningkatkan pendapatan haram mereka, Rain memiliki pemikiran yang berbeda.

Baginya, obat terlarang hanyalah barang bodoh untuk masyarakat miskin yang tidak kalah bodoh. Ia menggunakan hal tersebut sebagai pengalihan isu—yang bisa menyita perhatian seluruh kepolisian dunia dari aktivitas ilegal yang menjadi sumber kekacauan selama ini:

Ring of Fire adalah sebuah kegiatan, tempat di mana orang-orang yang membutuhkan uang mendaftarkan diri mereka, kemudian bertarung sampai mati di atas arena. Pemenang akan mendapatkan hasil yang luar biasa besarnya, uang untuk pemenang dihasilkan dari para konglomerat yang menyaksikan dari kursi penonton dan bertaruh atas jagoan mereka.

Meski demikian, Rain menaruh kepercayaannya dalam monopoli uang dan kekuatan ini pada seorang juara yang tidak pernah bergeser dari posisinya. Seluruh uang yang diserahkan pada Parasol akan terkumpul dan kembali lagi ke tangan Sang Pemimpin karena kelicikan otaknya. Pria berambut hitam itu menatap rekan kerjanya dengan tatapan tajam.

“Viktor,” panggilnya, ia mengangguk.

“Sama seperti saat-saat sebelumnya. Bawakan aku kemenangan.”

***
Ring of Fire, Underground,
3 Desember 2022, 22.00

“SELAMAT MALAM DAN SELAMAT DATANG DI ACARA PERTARUNGAN YANG SANGAT DINANTIKAN INI! Seperti biasa dengan saya Ivy yang akan menjadi tuan rumah anda kali ini.”

Malam itu sangat meriah, gemuruh tepuk tangan dan seruan terdengar dari setiap sudut ruangan bawah tanah itu. Kursi-kursi tinggi bak stadion mengelilingi sekitar arena, ditambah dengan dua ruangan khusus tempat para penyelenggara berada.

“Kepada para hadirin yang saya hormati, selamat datang untuk penonton baru dan selamat datang kembali bagi para pelanggan setia kami! Pertarungan malam ini akan menjadi momen epik yang kita kenang. Kami janji kalian tidak akan kecewa!”

Penerangan di bawah tanah itu menggunakan lampu-lampu sorot berwarna putih dan kuning, beberapa bagian dinding juga terhias graffiti. Namun yang paling menarik perhatian di sana adalah sebuah ring berbentuk lingkaran yang luas, terletak tepat di tengah. Di sekelilingnya terdapat properti seperti api, es kering, dan lainnya untuk memeriahkan pertarungan yang akan berlangsung.

Dan di tengah arena, berdiri seseorang yang kehadirannya telah dinanti-nanti mereka semua.

“UNTUK PETARUNG KITA! Mari kita kenalkan…”

Suara Ivy terdengar cukup redam di ruangan VIP yang disinggahi oleh Rain. Ruangan itu berwarna biru gelap dengan penerangan minimal, segelas wine menghiasi tangannya yang beristirahat di meja.

“VIK-TOR!!!”

Seruan meriah kembali terdengar begitu nama juara Ring of Fire dari tahun ke tahun diserukan sebagai peserta lagi tahun ini. Pemuda berambut cokelat yang berada di bawah sana segera menoleh pada kamera dan tersenyum.

“Hm.” Rain memejamkan matanya untuk sesaat, melihat senyuman Viktor yang kini terpajang lebar di televisi arena. Pria pendiam itu kemudian berjalan ke arah Ares di ruangan monitor untuk memantau kondisi selagi keadaan di bawah ramai.

“Ares. Bagaimana situasinya?”

Ares menegakkan tubuhnya karena terkejut oleh langkah kaki yang tidak terdengar dan berbalik, “aman saja. Semuanya dalam kendali. Kenapa? Kau gugup?”

Rain menaikkan satu alisnya begitu mendengar pertanyaan konyol tersebut. Ia membalas, “jangan bergurau. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Memastikan anggota kita selamat adalah tanggung jawabku.”

“Oh, tidak salah juga,” balas Ares pelan, melirik ke arena pertandingan di bawah yang sebentar lagi dimulai.

“Berikut adalah urutan pertarungan malam ini!” seru Ivy, kemudian memberikan sinyal melalui walkie talkie Ares. Pria yang menerima sinyal tersebut langsung membuka laman pertarungan pada monitor, membagikannya pada semua orang.

Ivy membacakan urutan pertarungan itu dengan sangat cekatan. Ares tampak tidak begitu peduli (ia cukup bosan karena sudah melakukan hal ini berkali-kali), Viktor hanya tersenyum karena mengetahui kemenangannya sudah tersegel. Akan tetapi, raut wajah Rain menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah. Setidaknya, hatinya berkata seperti itu. Ada yang salah dengan malam ini.

“Rain, Viktor akan bertarung pukul 12 malam. Kemudian akan ada waktu istirahat baginya sampai jam dua pagi karena diseling oleh pertarungan babak lain untuk menentukan siapa lawannya di final. Setelah itu, grand final akan dimulai. Kita harus selesaikan ini sebelum pukul empat jika tidak ingin menarik perhatian kepolisian,” papar Ares, matanya menyapu jadwal itu dengan jeli.

Tak tak

Rain tidak membalas, jemarinya mengetuk meja dengan tidak sabaran. Tidak seperti Rain, pikir Ares. Apa yang membuat Rain terlihat gelisah kali ini?

“Ares,” panggil Rain, memantapkan tekadnya. “Tolong periksa ulang seluruh formulir pendaftaran peserta dan lacak keberadaan mereka di sini.”

4 Desember 2022, 01.55

“Hah…”

Helaan napas itu terdengar dari seorang petarung yang tengah bersandar pada dinding batuan, melihat kawannya berjalan mendekat.

“Malam, champion,” gurau Ivy, ia mendorong bahu temannya yang sedang minum sebotol air mineral. Laki-laki berambut coklat itu hanya terkekeh kecil dan menggelengkan kepalanya.

“Grand final belum dilaksanakan dan juara belum ditentukan, Ivy. Rasanya belum pas,” tolak Viktor, menutup kemasan botol itu dengan rapat. Ivy menatapnya tidak percaya.

“Sedang merendah, ya? Cara bertarungmu di babak sebelumnya sangat bagus. Sudahlah, Viktor. Juara satu tetap akan menjadi tahtamu. Sebentar lagi grand final dimulai, aku akan kembali ke arena jika live komentator sudah selesai berbicara.”

Viktor menyilangkan kedua tangannya, bingung harus merespons apa. Oh iya, bagaimana dengan Rain? Aku belum bertemu lagi dengannya.

“Rain sedang apa?” celetuk Viktor tiba-tiba, membuat Ivy menaikkan satu alis.

“Soal itu aku gak tau. Dia ada di atas seperti biasa,” jawab dokter itu singkat, merasakan pekerjaannya sebagai master of ceremony ini menguras energinya terlalu banyak.

…Aneh. Wajah Viktor menjadi murung. Apa Rain melupakan sesuatu? Dari tahun ke tahun, pemimpin itu pasti turun ke backstage untuk menghampiri dan memberikan sepatah ‘good luck’ kepada Viktor. Kenapa kali ini tidak ada?

Secara tidak sadar, Viktor menengadahkan kepalanya ke atas–tepat ke arah ruangan di mana Rain biasa duduk dan menyaksikan seluruh pertarungan konyol ini.

Apa dia sedang memiliki kesibukan lain? Ah gak, dia selalu berjanji kalau dia akan meluangkan waktu untuk menyaksikan aku memenangkan pertarungan.

Hati Viktor mulai dikerubungi rasa gelisah. Dimana Rain-nya?

“Viktor,” panggil Ivy, menepuk bahu temannya yang kini cemberut. “Sebentar lagi call untuk grand final. Jangan melamun, bersiaplah untuk berjalan masuk ke dalam ring jika aku sudah menyebutkan namamu!”

“Oh. Iya, maaf. Ngantuk sedikit,” jawab Viktor asal, ia mengusap lehernya sendiri.

“DAN PEMENANG BABAK FINAL KALI INI ADALAH PETARUNG NOMOR EMPAT!!”

Viktor mendengarkan pengumuman itu dengan saksama. Ia paham dengan jelas bahwa orang-orang yang mendaftarkan dirinya kemari biasanya menggunakan nama samaran, tapi ‘petarung nomor empat’? Kalau suasana hatinya sedang tidak buruk, Viktor pasti sudah tertawa. Siapa yang tidak terpikirkan untuk membuat nama samaran hingga ketika dipanggil pun pakai nomornya? Tapi bagus, karena sekarang Viktor tersenyum tipis.

‘Petarung nomor empat’ adalah peserta yang akan dikalahkannya hari ini.

“Kau pasti bisa menangkan ini. Good luck, Viktor. Aku naik duluan.” Ivy menepuk bahu Viktor dengan kuat sebanyak dua kali sebelum berlari dengan semangat ke depan arena.

Jam menunjukkan pukul dua pagi, kini seluruh lampu sorot terarah pada master seremoni yang berdiri di depan ring, memegang mikrofon dengan yakin dan dramatis.

“SELAMAT MALAM HADIRIN SEKALIAN! Waktu yang kita tunggu-tunggu telah tiba. Di arena pertarungan yang kita sebut sebagai Ring of Fire ini, kita akan melihat siapa petarung sejati yang menjadi juara. SELAMAT DATANG DI GRAND FINAL RING OF FIRE!!!”

Sorak sorai dan tepuk tangan luar biasa bergemuruh dari ribuan penonton menciptakan getaran di spektrum stadion bawah tanah itu.

“Tanpa tunggu lama-lama lagi, mari kita panggil dua petarung hebat yang sudah berhasil mengalahkan lawan-lawannya di babak awal.” Ivy menarik napas sejenak sebelum berseru dengan lantang.

“Petarung pertama kita, sosok baru yang pertama kali muncul dalam Ring of Fire dan berhasil memanjat ke grand final! Petarung yang sangat bengis dan bertekad kuat, mari kita sambut dengan meriah, Petarung Nomor Empat!”

Segera setelah Ivy menyerukan intro tersebut, suara kaki yang melompati ring dengan mudah terdengar lantang. Petarung itu menyita semua perhatian penonton karena wajahnya yang belum pernah muncul ke Ring of Fire sebelumnya.

“Kemudian petarung kedua, kita memiliki sosok yang dijuluki sebagai Raja Ring of Fire karena kemenangannya yang mutlak selama bertahun-tahun! Berikan sambutan luar biasa untuk Viktor!”

Viktor menarik napas dalam, ia menengadahkan kepalanya dengan percaya diri dan berjalan ke arena dengan mantap. Matanya mulai beradaptasi dengan terangnya arena, gendang telinganya bergetar karena suara yang diterimanya.

“VIKTOR! VIKTOR! VIKTOR!”

“VIKTOR! Menangkan pertandingan kali ini, kau pasti menang! Tunjukkan pada orang baru itu siapa raja sebenarnya!”

Seruan-seruan itu menghujani dirinya. Viktor memejamkan mata beberapa detik. Tentu saja, aku pasti akan menang. Dengan penuh keyakinan, Viktor memegang pembatas ring dan melompatinya untuk memasuki arena, kini dapat melihat dengan jelas siapa lawannya.

Deg

“Dua petarung kita telah tiba di atas arena! Ini adalah Grand Final yang tidak akan terlupakan. Siapa yang akan memperoleh mahkota Ring of Fire tahun ini? Bersiaplah untuk menyaksikan pertunjukan yang akan dipersembahkan oleh mereka berdua!”

Ivy kemudian kembali berlari menuju backstage, membiarkan komentator dan wasit mengambil alih babak terakhir yang akan dilaksanakan. Sebuah bel berbunyi dengan keras bersamaan dengan sebuah seruan:

“PERTARUNGAN DIMULAI!”

Deg

Deg

Pertarungan dimulai, itu kata wasit. Seharusnya adrenalin milik Viktor terpompa, namun tidak dengan kali ini. Viktor takut. Jantungnya berdegup tidak karuan, keringat dingin mengaliri pelipisnya. Dadanya sangat sesak dan pupilnya melebar. Petarung Nomor Empat tersenyum manis pada Viktor.

“Kita bertemu lagi, Vik–.”

“Diam.”

“Ingat aku?”

“DIAM!” bentak Viktor keras, ia dengan ceroboh mendekat dan melayangkan tinjunya asal.

“...”

Pemuda itu tersenyum ekstaksi begitu menghindar dari serangan lawannya, membuat eye contact. Tatapan dari sepasang manik ungu itu sangat mengerikan bagi Viktor. Memori-memori buruk terputar dengan cepat di kepalanya… Kenapa orang itu bisa berada di sini?

“Aha!~ Viktor, kau cepat seperti biasa. Masih secepat ketika terakhir kali kita bertemu,” puji lawannya, kini gilirannya untuk mengepalkan tangan. Wajah petarung misterius yang awalnya tersenyum licik itu mendadak berubah menjadi dingin dan datar.

BUK!

“Ugh–!” Viktor mengarahkan tangannya ke abdomennya yang menerima pukulan keras, hanya untuk bertambah lengah dan menerima tendangan di kepalanya.

“Cepat, kuat, dan apa kau tahu apa lagi satu trait-mu, Vik?”

Petarung itu memosisikan dirinya dalam posisi menggunting, siap untuk menjatuhkan lawannya.

BRAK!

Sakit… Sakit, sakit!

“Benar. Bodoh. Atau naif? Bodoh dan naif itu beda tipis, kurasa. Tapi kau selalu jatuh dalam tipu dayaku. Viktor, seluruh Parasol bahkan tidak mengetahui bagaimana aku, seorang eksekutif Los Zetas, bisa masuk ke tempat yang kalian sembunyikan dari Cosa Nostra.”

Seluruh penonton di stadion itu tidak menduga apa yang sedang terjadi di hadapan mereka. Sosok petarung yang selama bertahun-tahun dinobatkan sebagai raja karena kemenangannya yang mutlak itu kini sedang dihajar begitu saja oleh pendatang baru? Akan tetapi, dialog yang terjadi di atas ring itu tidak terdengar akibat suara penonton yang sangat keras.

Ini gawat.

Suara benturan yang terdengar berkali-kali tanpa henti itu mengirimkan panik yang tidak terkontrol pada Rain. Dahinya berkerut selagi ia mengobrak-abrik folder dalam laci bersama Ares.

Mustahil. Tidak ada data apapun yang bisa mengungkap siapa identitas asli dari petarung di bawah sana. Pasti ada yang terlewat, Rain sangat yakin. Tapi apa yang dia butuhkan?

“Keparat…” kutuk Ares, buku-buku jarinya memutih karena kesal. Tidak ada jalan lain. Mereka berdua tidak bisa melihat wajah petarung nomor empat dari atas sini, kemudian Ivy pasti tidak sempat melihatnya juga karena master seremoni hanya berdiri di tempat miliknya saja. Ares mengangkat walkie talkie-nya dan berbicara dengan keras.

“Ivy, Ivy. Do you copy? Arahkan kamera terdekat di arena ke arah wajah lawan Viktor. Berikan kami deskripsi lengkap tentang penampilannya. Ini berbahaya untuk Viktor.”

“Copy, loud and clear.”

Rain mengingat pembicaraannya dengan Miguel beberapa hari yang lalu.

“Omong kosong. Parasol tidak ada apa-apanya jika Los Zetas tidak memberikan bantuan pada kalian,” bantah pria menyeramkan itu, kini nada bicaranya terdengar tersinggung. Mendengar hal tersebut, Rain menarik napas panjang.

“Tuan Miguel. Izinkan saya untuk menegaskan hal ini sekali lagi: Los Zetas tidak pernah mengirimkan apapun pada Parasol. Kami tidak memiliki hubungan apapun dengan Los Zetas selama puluhan tahun.”

Sebuah senyuman licik terukir di bibir Miguel yang terhias jaringan parut. Ia membalas, “Parasol berhutang budi pada kami. Sebab, kalian tidak akan memiliki seorang anggota yang mahir bertarung sepertinya jika kami tidak melatihnya.”

Wajah Rain masam begitu mendapatkan respons. Sangat masam. Cecunguk obesitas sialan ini…

“Anda tidak berhak untuk ikut campur dalam masalah pribadi personel saya. Tuan Miguel, jika Anda melewati garis batas, saya tidak akan segan untuk menghancurkan Los Zetas.”

“Oh Rain, kau masih sangat muda dan bersemangat,” tawa Miguel pelan, ia mengeluarkan sebuah puntung rokok dan menyalakannya dengan sebuah korek berlapis emas.

“Terimakasih atas tantangannya, namun Los Zetas akan menghancurkan Parasol lebih dahulu.”

Itu dia.

“ARES! CARI SESEORANG DENGAN RAMBUT PUTIH DAN MATA UNGU PADA DOKUMEN DI KOMPUTER!”

Ares terkejut begitu mendengar perintah dari Rain yang sangat mendadak. Komputer? Ares yakin seluruh data peserta sudah dicetak dan mereka sudah mencarinya satu-satu secara manual. Melakukan hal itu kembali di komputer akan sia-sia, bukan? Itu dugaannya sampai ia menerima panggilan dari Ivy.

“Ares, Ivy di sini. Kamera sudah diarahkan pada sudut yang sesuai, lihat layar dari dalam ruangan. Lawan Viktor berupa pemuda dengan tinggi semampai, kulit putih, rambut berwarna putih, dan mata berwarna ungu. Kurasa datanya tidak tercatat dalam daftar peserta–seseorang telah mendaftarkannya secara ilegal, namun datanya pasti ada di komputer. Cari identitasnya di sana!”

BUK!

Hantaman itu kembali terdengar saat sebuah tinju dilayangkan pada rahang Viktor, disusul sebuah suara mengerikan.

Krak

Viktor menautkan kedua alis menahan rasa nyeri yang luar biasa pada wajahnya, ia terkapar di atas lantai. Darah mengalir deras dari hidung dan mulutnya, memar terlihat jelas di sana. Rahangnya patah.

Rain, Ivy, dan Ares membeku begitu melihat Viktor dari siaran layar. Dari mereka bertiga, satu terlihat sangat buruk. Wajah Rain pucat pasi, seolah-olah seluruh darah menghilang dari tubuhnya.

“ALEX!” seru Rain tanpa sadar, ia memegang gagang pintu dan membukanya dengan keras.

Ceklak

Sebuah senapan beradu dengan dahi Rain, membuat pria itu berhenti bergerak.

“Turun ke arena dan kami akan menjatuhkan bom pada stadion ini. Lakukan apa yang ingin kalian lakukan selain menginjakkan kaki ke luar ruangan,” ancam pria asing itu, mata Rain menyapunya dari atas sampai bawah. Ada sebuah tato yang khas.

“Bangsat…” geram Ares, ia menyalakan walkie talkie-nya kembali, “Ivy, masuk. Ivy, do you copy?”

“HEY! ITU MELANGGAR ATURAN!” seru Ivy keras, ia berlari ke sudut tempat wasit berada tanpa memedulikan panggilan Ares.

“Hentikan pertarungan,” gumam Rain pelan, sangat pelan sampai Ares mengeluarkan sebuah, “hah?”

“Hentikan pertarungan. Panggil ambulans ke titik terdekat yang aman dari sini.” Ares menatap atasannya. Rain memberikan perintah dengan nada yang amat datar, wajahnya tidak menunjukkan satu ekspresi pun.

“WASIT! HENTIKAN PERTARUNGAN INI SEKARANG JUGA! PATAH RAHANG TERMASUK KE DARURAT MEDIS!” bentak Ivy sambil mencengkram kerah dari wasit yang menjaga pertandingan, panik jelas terbesit pada dokter itu.

“Bangunlah dan hajar aku. Kau lebih kuat dari aku, Vik. Selalu,” provokasi lawannya. Viktor tidak membalas apa-apa.

Mulutnya tidak bisa digerakkan, lalu darah sebentar lagi akan memenuhi saluran napasnya hingga ia kehabisan oksigen untuk bernapas akibat perdarahan masif. Viktor bisa mati.

“...Kenapa diam saja?” tanya Ivy pada lawan bicaranya, menunggu sebuah balasan.

“Pertarungan berhak untuk dilanjutkan. Dilarang untuk membuat keributan selama Ring of Fire berlangsung, dokter,” balas si wasit, tatapannya begitu cuek. Ivy terbelalak.

Ada yang salah. Tidak. Semuanya salah. Sebenarnya ada apa? Persetan dengan semua itu. Jika wasit tidak akan memberhentikan pertarungan, maka Ivy akan memberhentikannya. Pria itu menginjakkan kakinya–

“Stop. Tidak secepat itu,” potong sebuah seseorang dari belakang, disusul dengan suara fiksasi sebuah senjata. Ivy dapat merasakan sebuah revolver ditodongkan di batang otaknya, siap ditembakkan kapan pun. Kini mereka mengerti semuanya.

Ivy berpikir cepat–ilmu selama ini yang ia pelajari di forensik sangat berguna di saat-saat seperti ini. Dari ringannya suara dan beban senjata yang ditekankan pada tengkoraknya, ia bisa menebak siapa mereka semua. Revolver tipe Ruger LCR. Berukuran 6,5 inci dengan berat 382 gram membuat senjata itu dapat masuk ke saku atau disembunyikan di tempat lain dengan baik. Barel tekanan tinggi dan amunisi penuh, diproduksi di Amerika…

Los Zetas menggunakan senjata tipe ini.

“...Pak wasit, lawannya sudah tidak bangun. Apakah pertarungan ini dapat dikatakan selesai?” tanya Petarung Nomor Empat, ia menggunakan kakinya untuk menyentuh pipi Viktor yang kebiruan.

“Ya. Pertarungan dimenangkan oleh Anda, Tuan.”

Pria itu tersenyum lebar, menikmati kemenangannya dengan lawan yang nyaris tidak sadarkan diri tanpa perlawanan. Ia menengadahkan wajahnya dan membentangkan kedua lengannya, mulai berbicara.

“Para hadirin yang terhormat, terimakasih telah menyaksikan kemenanganku pada Ring of Fire tahun ini.”

“Ambulans dan bala bantuan sedang dalam perjalanan kemari, lokasi mereka sudah dekat,” ucap Ares, memeriksa radar pada GPS-nya.

Rain memejamkan matanya karena tidak bisa melihat apa yang terjadi di tengah arena. Dibilang egois, Rain memang sangat egois. Dibanding dengan Ivy dan Ares yang langsung bereaksi, Rain justru diam dan berpikir langkah apa yang selanjutnya harus ia ambil. Akan tetapi, hati tidak bisa berbohong.

“Pada malam ini, raja yang baru dari Ring of Fire telah ditetapkan. Izinkan saya mengenalkan diri terlebih dahulu,” lanjut pemenang itu, seluruh kamera tersorot padanya.

Rain dan Ares menoleh ke arah layar komputer yang kini menampilkan sebuah dokumen identitas peserta Ring of Fire yang tengah mendeklarasikan kemenangannya. Pada dokumen itu tertera foto seorang pria muda dengan rambut putih dan mata ungu. Di sebelahnya tertera sebuah nama dan afiliasi…

“Nama saya Shin.”

Shin. Member Eksekutif Los Zetas.

“SHIN! SHIN! SHIN!” Sorakan mulai terdengar keras dari para penonton di seluruh tribun, menyuarakan raja yang baru. Shin tersenyum dan membungkukkan tubuhnya untuk memberikan tanda hormat.

“Apa bala bantuan Parasol telah tiba? Kita harus pergi,” tanya Shin pelan pada wasit yang masih menodong Ivy. Tidak lama, terdengar suara sirine yang memekakkan telinga.

“Ah, Speak of the devil. LOS ZETAS!” panggil Shin lantang, membuat ratusan orang dari kursi panitia maupun penonton berdiri.

“Waktunya kita pulang.”

Perintah itu disusul dengan gemuruh langkah kaki para penyusup yang sangat banyak–entah bagaimana cara mereka mengetahui tentang program ini? Tidak, seharusnya bukan itu yang mereka pikirkan sekarang.

Di atas ring terbaring tubuh seorang pria, darahnya mulai tergenang di sana. Kelopak matanya perlahan menutup ketika ia menyisakan sebuah kata untuk kesadaran terakhirnya.

“Elio…”

***

bottom of page