Create Your First Project
Start adding your projects to your portfolio. Click on "Manage Projects" to get started
Ombak Laut di Malam Hari
Short Story
by Zoë Hárst, made for vrtgern_
Date
October 2023
Sebenarnya, laut pasang malam itu sangat tenang. Bulan yang memantulkan cahayanya di atas air, deburan ombak sesekali menghantam bebatuan di sana.
Sangat tenang, setidaknya menurut pria itu.
“…Pembohong.”
Gerutuan itu lepas dari seorang laki-laki tinggi yang berdiri di pesisir pantai, dengan sengaja membiarkan kakinya basah karena ombak.
Klang
“Tenang apanya,” lanjutnya kesal, sebuah pemantik ia nyalakan untuk menyulut api pada sebatang rokok.
Suasana hatinya bisa dibilang cukup kacau. Kedua alisnya bertaut, iris heterokromianya berpendar di bawah sinar bulan.
Tatapan itu—jelas sekali ratapan yang menyayat hati.
Lantas untuk apa seorang pria yang sedang bersedih berjalan sendirian di pantai setelah diperintah oleh atasannya?
“Wajahmu murung sekali. Ada pantai di dekat pelabuhan tempat para kriminal itu berkumpul. Di sana cukup tenang setelah pekerjaan kemarin, sebaiknya kau coba jernihkan pikiranmu.”
Sebuah helaan napas yang berat terdengar darinya. Rain tidak sepenuhnya salah, lagipula air laut pasang mana yang hanya berdiam diri?
Dari awal, permasalahan ini berpusat pada Viktor dan Viktor seorang.
Kalau ditanya kenapa perasaannya sangat buruk, laki-laki itu juga tidak akan tahu jawabannya. Mungkin ia tersesat dalam hidupnya sendiri.
Kebebasannya hilang, sendi-sendinya seolah-olah terhubung dengan pita merah yang digerakkan dari atas panggung sandiwara.
Siapa yang menggerakkannya?
…Rain.
“Tch.” Lagi-lagi dia. Lagi-lagi dia!
Pria itu sama sekali tidak bisa lepas dari pikirannya. Viktor membenci fakta itu. Dari semua orang yang pernah ia temui, kenapa harus si bajingan itu?
Viktor mengingat semuanya. Sudah seberapa sering ia mengabaikan perasaannya demi orang lain? Demi Rain, lebih tepatnya. Semua kalimat rasanya tersendat di tenggorokannya, bahkan untuk berteriak pun ia tidak sanggup.
Sudah bertahun-tahun Viktor bekerja dalam industri kotor ini, mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan selagi menahan keinginannya sendiri di bawah seorang manipulator.
Aku membencinya. Rain, pria sialan itu… Bangsat. Aku membencinya. Aku membencinya. Aku membencinya.
Tubuh yang dilapisi mantel tebal itu bergetar. Kedua tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ia memadamkan rokoknya sebelum menarik napas dalam.
“SIAL!”
Aku benci diriku sendiri.
Kenapa bisa ia menaruh hatinya pada seseorang yang begitu kejam? Viktor bahkan tidak mengetahui apa yang Rain pikirkan. Bisa saja ia hanya dianggap sebagai boneka lain yang bisa dibuang kapan saja? Membayangkan hal itu, setetes air mata mengalir menuruni pipinya tanpa disadari. Cengeng.
Apa yang harus aku lakukan…
“Viktor.”
Suara berat itu terdengar jelas di antara suara deburan ombak. Suara yang membuat jantung anak yang dipanggil rasanya loncat keluar, Viktor dengan buru-buru mengusapkan matanya yang basah ke pakaiannya sendiri sebelum berbalik.
“Rain. Untuk apa kemari?”
Mendengar suara yang setengah bergetar itu, Rain terkekeh kecil sembari berjalan mendekat.
“Satu rekanku ada yang menyelundup ke daerah sekitar sini, jadi aku ingin memeriksa.”
Tatapan hangat itu. Nada bicara yang halus—Viktor selalu kebingungan. Rain selalu berkesan dingin pada yang lain, tapi kenapa kali ini?
“…Ah. Begitu ya. Kalau begitu, silahkan lanjutkan. Aku akan kembali sebentar lagi,” balas Viktor kecewa, ia membalikkan tubuhnya.
Melihat aksi tersebut, Rain menggigit bibirnya untuk menahan tawa sambil menepuk bahu pria yang lebih muda.
“Viktor, tatap aku.”
Aduh. Taktik manipulasi lagi kah? Bosan.
“Aku kemari untuk mencarimu. Yang tadi hanya bercanda. Lagipula, aku yang menyuruhmu untuk datang ke sini?” lanjut Rain, ia tersenyum pahit begitu mendapatkan atensi Viktor.
“Viktor, ada yang ingin kau bicarakan?”
Oh, ada. Banyak, banyak sekali. Rasanya sampai ingin muntah.
“Tidak ada.”
Rain menaikkan satu alisnya ragu, kemudian mengangguk. “Ayo kita kembali. Aku meminta seorang koki untuk memasak menu yang kau suka. Kita bisa bicara di kamar.”
Menjengkelkan… Padahal sudah kubilang gak ada. Sepertinya dia benar-benar tahu cara membaca orang lain.
Merasa tidak ada celah keluar, Viktor hanya tersenyum tipis dan mengangguk.
“Yah, aku akan ikut.”
***