Create Your First Project
Start adding your projects to your portfolio. Click on "Manage Projects" to get started
Barangkali, di Semesta Lain
Spin-Off
by Zoë Hárst
Date
April 2024
“Rambutmu sudah tambah panjang ya, Sera?”
Aku menatap wanita di hadapanku, seseorang yang rasanya sudah lama sekali berlari dari dekapanku. Apa aku bermimpi?
Mataku terbuka kembali untuk melihat cahaya terang yang menembus jendela di ruangan familiar ini. Dinding putih gading dengan banyak jendela kayu, suasana hangat siang hari ini membuatku teringat akan sesuatu. Satu pertanyaan kembali muncul di benakku: bagaimana aku bisa ada di sini?
“Kenapa diam saja?” tanya perempuan berambut hitam itu, bibir merah mudanya menggulung sebuah senyuman diikuti manik birunya yang manis.
Aku hendak membuka mulutku, tapi semua kalimat tercekat begitu saja di tenggorokan. Kutolehkan kepala ke sisi kanan, mengingat di sela ruang tamu dan tangga terdapat sebuah cermin. Dengan segera, aku berdiri dam berjalan ke cermin tersebut. Mataku terbuka lebar.
Seorang pria rupawan tengah berdiri menatap pantulannya sendiri di cermin, rambut pirang yang tergerai menjuntai tebal dan halus. Sepasang mata sebiru air laut berkilau, tubuh berpostur indah itu terbalut kemeja putih dan celana hitam.
“Sera, kenapa?” Aku mendadak beralih pada wanita yang kini khawatir, sekarang aku mengingat namanya.
“Calliope,” panggilku, akhirnya mendengarkan suaraku sendiri setelah sekian lamanya.
‘Barangkali, di semesta lain…’
Aku mengangkat tanganku untuk meraba wajah Calliope. Jemariku menyentuh kulit putih nan halusnya, disusul rona kemerahan di sana. Wanita itu tampak kebingungan dan mendekatkan tubuhnya padaku, lengannya dilingkarkan ke belakang punggungku.
“Aku buat teh dan kue kesukaanmu. Sini, yuk?” ajaknya riang, ia menjulurkan tangannya dan kami berjalan menuju ruang makan.
Lagi-lagi aku mematung. Di atas meja makan sederhana itu terdapat sepiring kue dengan dua cangkir teh hangat, pikiranku terlalu campur aduk untuk mengingat semua hal satu per satu.
Aku mengambil satu kue itu dan menggigitnya, mengirimkan gelombang nostalgia pada tubuhku. Sisipan teh dari kebun di belakang rumah kami juga terasa begitu manis.
Hangat. Apa aku berhak merasakan kehangatan seperti ini, setelah semua yang kulakukan?
Apa aku berhak menginjakkan kaki kembali di bumi tempat aku mengakhiri semuanya?
“Bagaimana, enak?” tanya Calliope.
Jantungku mendadak berdegup kencang karena rasa takut. Tiba-tiba, perasaanku terasa hampa—seolah-olah aku baru saja kehilangan sosok penting dalam hidupku.
Aku tak seharusnya berada di sini. Rumah ini seharusnya tidak menerima kembali kehadiranku. Tapi rasa kue ini…
“Halo tuan, kamu kenapa sih hari ini? Bukannya sudah janji buat senang-senang merayakan ulangtahunku?”
Suara itu, suara yang begitu aku rindukan. Iya, untuk apa aku tiba-tiba merenung tidak jelas? Aku tersenyum manis dan menyalakan pemutar musik klasik di atas meja, menarik tubuh wanita yang kucintai itu untuk mendekat.
“Hahaha, iya ya? Aku kan dulu sudah janji, maaf ya. Kita dansa kecil?” tawarku, disusul anggukan penuh semangatnya.
Aku meletakkan tangan kananku pada pinggang Calliope dan tangan kiriku menggenggam tangannya, kaki kami mulai bergerak menyesuaikan irama lagu yang berputar.
“Kue dan tehnya enak seperti biasa,” pujiku, menjawab pertanyaannya beberapa saat lalu. Mata perempuan itu berbinar.
“Jelas, dong!”
Aku tertawa kecil, “kamu punya resep rahasia yang ditambahkan saat aku gak lihat adonannya, ya?”
Calliope mengangguk, “iya, rahasianya aku buat pakai cinta dan kasih sayang.”
Cinta dan kasih sayang. Aku tersenyum miring.
“Loh, berarti sekarang sudah gak rahasia lagi dong karena aku sudah tau?”
Wanita berambut hitam itu cekikikan kecil. “Gak apa-apa. Kita kan janji buat gak simpan rahasia dari satu sama lain sampai kita tua bersama dan ajal datang.”
Kami berputar masih melanjutkan dansa, dahi kami menyentuh satu sama lain. Jarak kami begitu dekat sampai aku bisa merasakan hangat dari hembusan napasnya.
“Iya. Kita juga berjanji untuk mencintai satu sama lain sampai waktunya tiba,” lanjutku, tiba-tiba merasakan sakit pada dadaku. Aku mengambil napas dalam sebelum berbisik, “dan aku gagal melindungimu di saat terakhir.”
Musik mengisi ruangan yang hening untuk sesaat.
“Sera,” panggil suara halus nan merdu, wajahku terangkat berkat tangannya.
“Kamu sudah melakukan hal terbaik yang kamu bisa lakukan,” lanjutnya. Aku menggenggam pergelangan tangannya.
“Tapi aku gagal.”
Pandanganku mulai terlihat buram dan berkaca-kaca.
Calliope tersenyum hangat. “Sera-ku yang tampan, Sera-ku yang kuat. Jangan menangis, ya?” Aku menggelengkan kepala.
“Aku merindukanmu, Cally,” gumamku di tengah isakan, jemarinya menghapus air mata yang mengalir di pipiku.
“Padahal aku selalu mengunjungimu loh?” tanyanya bingung dengan satu alis naik.
Memoriku kacau. Semuanya campur aduk.
“Aku mau kamu senang, Sera. Sera yang kukenal dan kusayangi tidak akan merenung dalam diam setiap hari seperti ini.”
“Maaf. Maaf, maaf.”
Aku merasakan sentuhan halus pada kepalaku. Dengan suara yang bergetar aku berkata,
“Terimakasih telah mau menerimaku di rumah ini.”
Calliope tampak terkejut untuk beberapa detik, kemudian bibirnya membentuk sebuah senyuman yang diikuti oleh matanya. Senyuman itu merupakan hal terhangat yang pernah aku lihat.
“Tentu saja, ini kan rumah kita? Mari lupakan segala hal yang membuatmu sedih dan kita akan berdansa sekali lagi, ya?”
Aku menahan isakku dan mengangguk, kembali menuruti ajakannya.
“Terimakasih sudah melindungiku, Sera. Kamu kekasih terbaik yang pernah ada. Barangkali, di semesta lain kita dapat hidup bahagia.”
Nadanya terdengar begitu pilu seolah ia memahami apa yang sedang kurasakan.
“Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu. Rumah ini akan selalu terbuka untukmu, jadi masuklah kapan pun yang kau mau. Rumah kecil kita akan menyambutmu dengan hangat.”
Kalimat itu membuatku tersenyum. Kami berputar beberapa kali di atas lantai sebelum aku merasakan cahaya hangat menerpa tubuh kami, tanganku tidak lagi menyentuh tubuh Calliope yang ramping. Aku seolah-olah menyentuh udara kosong dan detik berikutnya aku membuka mata, langit berubah menjadi malam dan hanya cahaya bulan yang menerangi gelapnya rumah tua ini.
Aku melirik ke arah meja makan. Teh di cangkir sudah mengering, kue hancur berhamburan dan seluruh sudut rumah ini kini berdebu. Ujung mataku menangkap sarang laba-laba di atas pemutar musik yang sering kami gunakan dulu.
Aku tersenyum ngilu.
‘Rumah kecil kita akan menyambutmu dengan hangat.’
Calliope tidak sepenuhnya berbohong. Meskipun yang kurasakan saat ini adalah dingin, rumah ini tetap mengizinkanku untuk masuk ke dalam.
Lagi-lagi, aku berakhir sendirian. Aku menyeret kakiku keluar dari rumah tua itu dengan lemas. Kebun di luar sudah tidak terurus, hanya menyisakan sepetak tanah dengan nama kekasihku terukir di sebuah batu.
Kematian Calliope tidak akan pernah meninggalkan rumah ini. Tempat yang kami jadikan sebagai istana untuk membangun keluarga, sekaligus tempat kekasihku berpulang setelah pembunuhan tragis itu.
Dekade lalu, aku merasakan dengan ngeri betapa kaku dan dinginnya tubuh tanpa nyawa itu dalam pelukanku, hujan membersihkan darah yang menodai tubuhnya.
Saat itu aku bersumpah untuk melakukan apapun yang bisa kulakukan untuk merebut rumahku kembali.
Para pembunuh itu merenggut hati tempatku berpulang. Lalu aku berjanji untuk merenggut rumah mereka pula.
Aku akan melakukan apapun untuk membawa Calliope kembali ke dekapanku, entah itu dengan mengorbankan dunia atau diriku sendiri.
Sebab aku mencintaimu, Calliope. Rumah kita tidak lagi sama tanpa kehadiranmu. Aku mencintaimu dan aku akan berpulang padamu.
༺ ⸸ ༻