top of page

Create Your First Project

Start adding your projects to your portfolio. Click on "Manage Projects" to get started

Kamulah Hal Terbaik di Hidupku

Spin-Off

by Zoë Hárst

Date

April 2022

“Terimakasih telah menyempatkan diri untuk datang, Leviathan, Astaroth.”

Belphegor menundukkan kepalanya sejenak pada dua pria di hadapannya, dibalas dengan sebuah bungkukan penuh hormat.

“Tidak perlu repot-repot, Tuan Belphegor. Sudah menjadi kewajiban saya untuk mengunjungi tunangan saya,” balas Astaroth dengan sebuah senyuman, kemudian mulai berjalan masuk ke istana bersama raja di depannya.

“Maaf mengganggu jadwalmu yang padat, Leviathan,” ujar raja sloth itu, kini mereka mengarah ke sebuah koridor dengan ruangan kerja di ujung.

“Aku cukup luang hari ini. Tidak masalah. Ada apa dengan Morax?”

Belphegor menghela napasnya begitu ia tiba di depan sebuah pintu megah.

“…Anda tahu. Anakku memiliki masalah pada kejiwaannya, dan akhir-akhir ini dia kumat lagi. Entah apa trigger-nya, aku tidak tahu. Terakhir kali ia tantrum, keberadaan Astaroth berhasil menenangkannya.”

Astaroth meneguk ludah, ia memang sudah mendapat berita ini melalui panggilan kemarin. Maka dari itu, Leviathan dan Astaroth berangkat ke Lapsae Caelum hari ini. Leviathan hanya akan berjumpa dengan Morax sebentar sebelum pulang pada malam hari, sementara Asta akan menginap selama Morax membutuhkannya.

Mengerti kode dari Belphegor yang meminta Asta untuk mengetuk pintu, anak itu melakukannya.

Tok tok tok

“…”

Tok tok tok

“Siapa?” tanya seseorang dari dalam setelah diam beberapa lama, suaranya terdengar ketakutan.

“Ini Asta, Morax. Apa aku boleh masuk ke dalam?” balas Astaroth dengan halus, membuat anak yang sedang meringkuk di dalam berdiri dan membuka pintu.

Yang membuat Morax terkejut adalah dua sosok di belakang kekasihnya, ayah dan calon mertuanya sedang berdiri tegap.

“…Selamat pagi. Silahkan masuk,” sapa Morax, berusaha untuk terlihat formal.

Astaroth dapat menilainya. Ruangan kerja itu benar-benar kacau, tidak berbeda jauh dengan pemiliknya di sana. Berantakan, kertas-kertas berserakan di lantai seolah-olah mereka memang sengaja dilempar, cermin yang pecah dengan darah di sana, beberapa perabot juga rusak.

“Maaf. Ruangan kerjaku tidak begitu rapih,” gumam Morax sangat pelan, mereka duduk di atas sofa yang tersedia. Pangeran sloth itu menunduk. Matanya merah, bibir-bibirnya terdapat banyak luka. Di lehernya terdapat bekas luka jeratan, begitu pula di bagian tubuhnya yang lain.

Astaroth mengernyit, ini persis dengan kejadian ratusan tahun lalu sebelum mereka menjalin hubungan. Apa yang membuat Morax seperti ini lagi?

“Morax,” panggil Belphegor, suaranya terdengar sedih melihat putranya hancur seperti itu.

“Leviathan dan Astaroth datang untuk menjengukmu. Bagaimana keadaanmu pagi ini?” lanjut Belphegor, membuat Morax sedikit berpikir untuk fokus.

“Aku baru bangun tidur,” jawab Morax emteng, menjelaskan rambutnya yang sangat berantakan.

“Sepertinya Stolas tidak mengantarmu ke kamar tidur?” tanya Leviathan bingung.

“Oh tidak, Tuan. Stolas melakukan pekerjaannya dengan baik. Saya tidur di kamar tidur, bangun pagi, kemudian bekerja. Saya tidak sengaja tertidur di sini karena mengantuk,” jawab Morax, jelas sekali ia berusaha untuk tampil sempurna di depan orang lain.

“Dia seperti itu. Tidur, bangun, memaksa bekerja tanpa sarapan, kemudian berhalusinasi, mulai menyakiti dirinya sendiri sampai lelah, kemudian tertidur lagi. Siklusnya hanya seperti itu,” ujar Belphegor, paham bahwa Morax tidak akan terfokus pada kalimatnya.

Tatapan pangeran itu sangat kosong, entah sedang melihat apa di langit-langit…

“Sayang,” panggil Astaroth, ia menggenggam tangan Morax dan mengelus pipinya, membuat anak yang lebih muda menoleh ke arahnya.

Cup

Tanpa aba-aba, Astaroth mencium kekasihnya dengan mesra. Belphegor dan Leviathan tidak masalah karena mereka mulai terbiasa melihat keduanya seringkali bercumbu, jadi mereka hanya diam.

Pandangan Morax menjadi buram begitu merasakan sapuan bibir Astaroth pada bibirnya, matanya ingin sekali menutup. Jantungnya berdegup kencang.

Oh ya… Asta. Aku mencintai Asta, tapi hatiku sakit setiap aku mengingatnya.

“Mmh…” desah Morax tiba-tiba, membuat kedua raja di sana tersenyum pahit. Memori mereka terbang ke momen saat mereka mendapati anak mereka bercinta.

Morax merasa terlena dan hanyut dalam ciuman itu sampai…

“Kau tidak berguna.”

“Kalau kau sakit hati karenanya, kenapa masih mau dicium dia?!”

“Dasar bodoh… Hahaha.”

“Bodoh! Bodoh!”

“Kamu sudah bodoh, tidak berguna, mati saja!”

“Haaah!” Morax menjauhkan dirinya secara tiba-tiba dari Astaroth, menggapai napas sembari menutupi kedua telinganya yang mulai berisik.

“Morax..?” panggil Astaroth, meraba bibirnya yang kini mengeluarkan darah. Anak yang dipanggil menoleh, menunjukkan ekspresi panik begitu sadar ia tidak sengaja menggigit bibir kekasihnya saat menjauh tadi.

“Asta. Asta. Asta, maaf…” ulang Morax berkali-kali, ia kini menyapukan jemarinya untuk menghapus darah di sana.

“Lihat, kan! Dia itu bodoh!”

“Mau menjauh saja malah melukai orang lain.”

“Lihat tuh, kekasihmu terluka karena kau!”

“Memangnya apasih yang dia bisa lakukan dengan benar…”

“Sampah!”

“Maaf…” ulang Morax lagi, ucapannya repetitif sampai gerak jarinya melambat. Astaroth membatin, kondisinya lebih buruk dari yang kukira.

“Ayah. Tuan Leviathan, maafkan saya. Saya mau tidur lagi,” ujar Morax tiba-tiba, kemudian berbarinng di atas sofa.

“Dia sepertinya tidak sadar atas perlakuannya sendiri. Ada yang mengganggu dia,” komentar Leviathan melihat anak itu kini berbaring, namun matanya terbuka sambil menatap kosong ke arah depan.

“Suara-suara di dalam kepalanya,” timpal Astaroth, mengerti dengan baik kondisi kekasihnya. Belphegor menghela napas dan mengangguk.

“Asta, bisakah kamu antar dia kembali ke kamarnya dan tinggal bersamanya sampai ia membaik? Dia hanya menyebut namaku dan ayahmu untuk pergi, putraku membutuhkanmu,” tanya Belphegor, mendapatkan anggukan Astaroth.

“Tentu saja, Tuan. Kalau begitu, saya izin untuk membawa Morax ke kamar.” Astaroth berdiri dan mulai mengangkat Morax ke dekapannya, menggendongnya dengan bridal style. Ia menundukkan kepalanya untuk menghormati dua raja di sana, lalu pergi menuju destinasi selanjutnya.

***

“…Asta.”

Panggilan itu terdengar sangat rapuh, membuat sosok yang sedang berdiri menghadap cermin berbalik.

“Ya, sayang?”

Kondisi Morax sudah jauh lebih baik. Setidaknya ia sudah bebas dari luka-luka dan percobaan bunuh diri lainnya. Ia juga mulai tampak bugar, namun cahaya belum kembali ke matanya.

“Tidak apa-apa jika kamu ingin mencari wanita lain.”

“…Hah?”

Astaroth menghentikan seluruh kegiatannya, kemudian berjalan ke arah Morax yang sedang duduk di ujung kasur mereka. Malam keempat belas Astaroth menginap di sana cukup dingin.

“Aku gak masalah kalau kamu ingin mencari seorang wanita, aku bisa menerimanya,” ulang Morax, kini memeluk dirinya sendiri karena merasa tidak nyaman.

“Hei, aku gak paham maksudmu tiba-tiba begini. Ayo bicarakan baik-baik,” ajak Asta, akhirnya duduk di sebelah Morax. Namun alih-alih menerima, Morax justru menjauh dan berbaring.

“…Maaf. Aku tidak fokus, aku ingin tidur,” tolak pangeran yang lebih muda dengan gelisah, berbalik dan memaksa untuk memejamkan matanya.

“Morax, jangan buat aku panik. Ada apa? Apa yang mengganggumu selama ini?” paksa Astaroth, mengubah posisi menjadi di sisi kekasihnya.

“…”

Tanpa menatap matanya pun, Astaroth tahu ada sesuatu yang membuat anak ini hancur. ‘Wanita lain’… Apa Morax tidak sengaja mendapati Astaroth mendekati orang lain yang kebetulan adalah seorang wanita di saat mereka adalah pasangan sesama pria?

Tapi Astaroth tidak pernah melakukan hal seperti itu! Selama ini hanya ada di ruang kerja, kamar, ruang kerja lagi. Kalau begitu, masalah kali ini datang dari Morax itu sendiri. Tidak ada gunanya jika Asta memarahi Morax karena sudah berburuk sangka.

Kekasihnya sakit, itu yang ia harus terima sejak pertama kali mereka dekat. Astaroth menghela napas panjang.

“Morax… Kita sudah saling mengenal sangat lama. Aku selalu berada di sisimu dan kamu sangat paham dengan diriku. Tidak mungkin aku melakukan hal-hal seperti itu, Mochi.”

“Urf…” gumam Morax pelan, menggigit bibirnya. Matanya berkaca-kaca, bodohnya dia!

“Siapa yang memberitahumu soal itu, hm? Suara-suara menyeramkan yang selalu mengganggumu?” lanjut Asta, kini memeluk kekasihnya dari belakang.

Hangat… Morax sangat menyukainya ketika ia berada di pelukan Astaroth.

Memangnya hal apa yang bisa membuat seorang pangeran dengan hati yang lembut ini menjadi hancur berkeping-keping?

Morax kehilangan segalanya, termasuk dirinya sendiri. Di dunia ini, banyak sekali tempat indah yang dimimpikan oleh Sang Pangeran. Tempat yang cerah, di mana langit dilukis dengan warna biru terang persis seperti pagi hari terakhir kali ia merasa benar-benar bahagia.

Morax berpikir jika ia berusaha keras untuk mencapai tempat itu lagi, ia akan berhasil menebus dosa-dosanya dan bertemu kembali dengan ibu dan adiknya. Namun upayanya selalu gagal, setiap percobaannya selalu diakhiri dengan rasa bersalah yang semakin buruk.

Itu sampai seorang teman masa kecilnya datang. Astaroth adalah sosok yang menemaninya saat Morax berada di titik paling terbawah hingga berhasil bangkit kembali. Tanpa Morax sadari, ia sudah berada di tempat indah penuh awan dan langit yang dilukis oleh cat biru muda itu.

Baginya, Astaroth bukanlah orang yang membawa dunia kembali padanya. Bukan. Bagi Morax, Astaroth adalah dunianya.

“Morax, kemarilah,” bisik Astaroth lembut, membuat Morax berbalik dan memeluknya. Wajahnya ia pendam pada dada Astaroth.

Selama Morax mengenal Asta, tidak akan ada satu hal pun yang menunjukkan bahwa Asta dapat menghancurkan hati kecilnya. Lantas siapa yang membuat Morax hancur kembali?

“Mochi cantik. Kamu imut banget!”

“Rambutmu sangat halus, menggemaskan…”

“Tubuhmu kenapa kecil banget, ya?”

“Kamu tahu, wajahmu cukup lugu dan cantik untuk ukuran pria.”

“…”

Lagi-lagi, Morax menghancurkan dirinya sendiri. Ia dengan otak rusaknya… Pujian-pujian yang diucapkan Astaroth padanya sehari-hari justru menjadi boomerang balik.

Cantik, imut, tubuh kecil. Karakteristik wanita, tapi Morax bukan seorang wanita. Lantas ia berpikir, apakah Astaroth sesungguhnya menginginkan seorang wanita, bukan pria?

Semuanya menjadi kacau di kepala Morax. Belum lagi dengan teman-temannya. Belial dan kekasihnya baru saja memiliki anak, dan anak merupakan sesuatu yang bisa diproduksi oleh pria dan wanita.

Bagaimana dengan pasangan pria dan pria? Morax berusaha mencari contoh lain—Michael dan Luciel. Keduanya laki-laki, namun Luciel dapat mengandung. Tapi kasus mereka kan memang berbeda…

Astaroth menginginkan seorang wanita, dan Morax tidak akan cukup untuk memenuhi keinginannya itu. Kurang lebih itulah yang membuat Morax berada di bawah tekanan hingga suara-suara itu kembali menghampirinya, ditambah dengan beban lain seperti stres dan pekerjaan.

“Aku tidak akan cukup untukmu,” ucap Morax tiba-tiba, membuat Astaroth terkejut.

“Morax, sesungguhnya ada apa..? Jangan bicara yang tidak-tidak. Kau lebih dari cukup bagiku.” Astaroth memosisikan tubuh mereka kembali, kini setengah duduk dan bersandar ke dipan tempat tidur.

“Aku tidak bisa punya anak, Asta.”

Jawaban itu mengirim listrik pada dominan di sana. Kini ia paham. Dengan situasi di sekeliling Morax saat ini, serta sifatnya yang cenderung submissive, tentu saja hal ini dengan mudah menghancurkan kepercayaan dirinya.

Dengan tatapan yang begitu lembut, Astaroth mengangkat wajah Morax dan mengelus rambutnya.

“Mochi sayang… Aku tidak pernah meminta hal seperti itu darimu.”

“Maaf kalau aku tidak sempurna. Aku tidak—aku, maaf, maksudku—.”

“Sst.”

Cup

Astaroth memotong kalimat itu dengan sebuah kecupan yang hangat, bibir mereka kembali menyatu.

“Maaf jika perkataanku selama ini membuatmu berpikiran yang tidak-tidak,” ucap Astaroth, menghapus setetes air mata yang mengalir di pipi Morax. Pangeran yang lebih kecil di sana mengistirahatkan tubuhnya, kembali bersandar pada dada Asta.

Astaroth tersenyum, mengerti apa yang harus ia lakukan. Secara perlahan, namun pasti. Dia akan menyelamatkan kekasihnya kembali.

“Mochi, kamu tahu, kamu itu tampan,” ujar Astaroth tiba-tiba, membuat Morax membuka mata kembali dan menatap sisi lain kamar.

Ini bukan pertama kalinya Asta memuji ia tampan, namun pujian maskulin seperti ini sebenarnya hanya Morax dengar jika ada orangtua mereka di tempat. Jika hanya berdua, Asta biasanya hanya memuji Morax dengan “lucu, cantik, kecil, imut, menggemaskan”.

“Wanita-wanita jatuh cinta padamu, bukan? Bahkan kamu berhasil menarik aku yang laki-laki untuk jadi cinta padamu juga. Kalau bukan tampan, apa namanya?” canda Asta, kini memilin rambut Morax.

“Tubuhmu juga sangat bagus, Mochi. Kamu olahraga setiap hari, jadi tentu saja itu sebuah fakta. Kamu juga mewarisi genetik ibumu yang sangat cantik, dan perpaduan feminim-maskulin dalam dirimu itu benar-benar membentuk seorang Mochi yang aku kenal~”

“Maaf jika selama ini aku secara tidak langsung membuatmu merasa kalau kamu adalah seorang perempuan. Tidak, kau seorang laki-laki utuh dan aku menyukaimu. Jangan pernah berpikir soal hal-hal yang tidak perlu dipikirkan.”

“…Hiks.”

Astaroth mendengar isakan kecil itu yang perlahan semakin mengeras, ia mulai mengelus punggung laki-laki yang bersandar padanya.

“Waktu masih panjang, Morax. Aku tidak mengharapkan apa-apa, namun ayah kita sedang bekerja sama dengan lust untuk melihat apakah kita bisa menghasilkan keturunan hanya dengan berdua.”

Astaroth menarik napas, “jika tidak pun, aku tidak akan kecewa. Kamu adalah hal terbaik yang bisa terjadi dalam hidupku dan aku tidak akan menyesalinya.”

Asta mencoba untuk memegang wajah Morax yang menunduk untuk menatapnya, ia tersenyum sangat manis.

“Jadi, Pangeran Morax yang amat kusayangi, jadilah dirimu sendiri. Karena aku tidak pernah meminta lebih. Suara-suara itu akan pergi jika kamu berani berdiri lagi seperti saat-saat sebelumnya yang pernah kamu lalui. Jika kamu takut dengan gelapnya duniamu dan betapa menyeramkannya suara-suara itu, maka ingatlah aku selalu berada di sisimu. Kamu hebat, kamu laki-laki yang kuat. Mereka akan kalah, dan Morax kesayanganku akan selalu menang.”

“Itu…” komentar Morax pelan, lalu melirikkan matanya ke sisi lain sebelum melanjutkan, “alay.”

“Hei, aku merangkai katanya dari hati, tau!” gerutu Astaroth, ia mencubit pipi Morax.

“Pft—hahaha,” tawa Morax kecil, membuat Astaroth tersenyum lega. Cahaya mulai kembali, bersama dengan rona pipi kemerahan pada pangeran itu.

“Terimakasih banyak, Asta. Maafkan Morax,” ujar Morax halus, ia memeluk Astaroth, hendak memejamkan matanya.

“Yah, kamu—“ ucapan Astaroth terpotong sebuah dengkuran kecil, membuat ia tersenyum pahit. Sudah tidur? Secepat itu?!

Mana bisa Astaroth protes dengan wajah Morax yang terlihat begitu tenang dan damai? Justru hatinya meleleh melihat kekasihnya yang—menurutnya—perpaduan dari tampan, cantik, imut, dan menggemaskan itu.

“Kamu tau… kamu itu duniaku, Morax.”

Bisikan itu dilanjutkan dengan sebuah kecupan singkat pada dahi laki-laki berambut ikal, kemudian Astaroth memosisikan tubuh mereka untuk berbaring.

“Selamat tidur, sayangku. Mimpi indah.”

***

bottom of page