top of page

Create Your First Project

Start adding your projects to your portfolio. Click on "Manage Projects" to get started

Saat Hyacinth Berbisik Maaf

Spin-Off

by Zoë Hárst

Date

May 2024

“Rambutmu masih indah seperti sejak kala, Luciel.”

Cermin di hadapanku tidak bisa berbohong. Kamar luas nan megah ini membuka tirai jendelanya lebar-lebar di pagi hari, membuat cahaya matahari menembus masuk ke dalam dan menerpa kami berdua di depan meja rias. Pagi itu rasanya sangat hangat, pantulan cahaya kuning yang menerpa membuat kami seolah-olah bermandikan madu.

Jemariku menari dengan lihai di sela-sela rambut panjang berwarna hitamnya, gumaman tersebut lepas secara tidak sengaja dari bibirku.

“Terima kasih?” Sosok yang telah lama berpisah dariku itu menaikkan satu alis, matanya menatapku dengan curiga. Barangkali, dia mengira aku mencoba untuk menyogoknya.

Aku hanya terdiam dengan tenang sambil mulai membagi rambut Luciel menjadi beberapa bagian, menyusun mereka satu per satu sampai membentuk sebuah gaya rambut yang telah lama sekali tidak ia gunakan.

“…Michael,” panggilnya murung, tampaknya terganggu dengan sesuatu. Aku menggigit bibirku menahan tawa melihat ekspresi wajah saudara kembarku.

“Ya?”

“Soal yang waktu itu…”

Aku menarik napas dalam. Kami jarang sekali bertengkar, namun sekalinya kena, Luciel pasti akan selalu membawa topik itu terus menerus. Rupanya kebiasaan itu masih terbawa hingga sekarang.

“Tidak perlu dibicarakan,” potongku tegas, melanjutkan kepangan rambutnya.

“Tapi aku mau.”

“Tidak, Luci. Diam atau akan kujambak rambutmu.”

“Adik sialan.” Luciel memanyunkan bibirnya seperti anak kecil yang mainannya baru saja direbut.

“Adik? Kita lahir bersamaan.”

“Tapi aku lahir duluan. Kembar pun ada yang lebih tua. Kau beberapa menit lebih muda dariku, Michael. Sopan sedikit ya.”

Eugh. Kalau aku mau membanting meja rias di depan kami, pasti sudah aku lakukan.

“…Baik, kakak,” gumamku pelan. “Heh?” tanyanya, terkejut mendengar respons tersebut. Dengan bodoh ia membalikkan badan dan menghancurkan kepangan yang telah kubuat.

“Kepangan rambutmu… jadi berantakan lagi,” geramku, melihat karya seni pada rambutnya sekarang hampir terlepas sebagian.

“Itu beneran nurut atau ngejek, sih?” tanya Luciel tidak peduli dengan protesku, merujuk ke ucapan ‘kakak’ di awal. Aku memang tidak pernah memanggilnya dengan sebutan itu.

Aku menghela napas dan menyilangkan lengan, “maunya gimana?”

Untuk sesaat, aku bisa merasakan dia tidak fokus dengan pertanyaanku, melainkan terpaku padaku. Aku melirik ke cermin rias di depan. Rambut pirang panjangku tergerai, sinar matahari membuat rambutku tampak bersinar keemasan. Poni rambutku kali ini diturunkan, membuat kami tampak sama persis sekarang. Warna rambut kini hanyalah satu-satunya pembeda kami.

“Jangan menatapku seperti itu. Menyeramkan,” tegurku, dengan paksa membalikkan tubuh Luciel untuk kembali menghadap cermin.

Sebenarnya situasi kami sangat sulit untuk dijelaskan. Kami adalah kakak tertua dari delapan kakak beradik. Awalnya semua berjalan dengan baik-baik saja, namun sejak saat itu—ketika kami dikhianati oleh sosok yang kami anggap sebagai orangtua—semuanya hancur begitu saja.

Luciel dan aku bertengkar hebat. Pertengkaran itu membuatnya berpisah dariku, dari rumahnya, sekaligus dari saudara-saudarinya. Aku hanyalah seorang pecundang yang tidak berguna. Luciel selalu menjadi kakak kami, kakak yang menyayangi dan mengatur kami. Dibandingkan dengannya, aku benar-benar tidak berguna.

Aku tidak sempat mendengar kalimat terakhirnya sebelum ia beranjak dari sini. Aku tidak pernah mengetahui apa yang sedang ia lalui, atau apa yang sedang ia perjuangkan. Aku hanya peduli dengan diriku sendiri dan hal itu menjadi penyesalan terbesarku.

Kalau aku bisa memilih untuk menyerah, aku akan menyerah. Tapi aku masih harus melindungi adik-adikku, sebab siapa yang akan mengurus mereka kalau bukan Luciel dan aku?

Reuni yang tidak terduga ini membuat perasaanku kacau. Malam ini, Luciel menyelamatkanku dari jahatnya dunia. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Takdir mempertemukan kami berdua kembali setelah terpisah dekade lamanya.

“Memang benar-benar aneh.”

Aku mendengar ujaran kecil itu lepas dari bibirnya, pura-pura tidak dengar.

“Rumit, ya. Kita.”

Aku selalu menjadi saudara yang lebih diam. Sementara, Luciel tidak pernah bisa lepas dari kata cerewet dan dramatis. Meladeni ‘tantrum’ Luci sudah jadi keseharianku dahulu kala. Biasanya aku hanya akan diam dan mendengarkan ocehan tak berartinya sampai ia capek sendiri. Namun kali ini, aku merasa ingin bicara banyak.

Hal-hal yang tidak bisa kusampaikan begitu saja lewat perkataan. Hal-hal yang telah kunantikan untuk kusampaikan ketika semesta mengizinkan kami bertemu kembali.

“Andai saja aku bisa memutar kembali waktu,” gumamnya, kini menunduk. Aku memiringkan kepala, hendak menyelesaikan kepangannya.

“Tapi kamu tau itu mustahil,” balasku, sudah sering mendengar ide-ide anehnya. Dan… sudah. Kepangan rambutnya sudah selesai, aku hanya perlu menambahkan sesuatu.

“Kamu suka bunga apa, Luci?” tanyaku, membuat Luciel terbangun dari lamunannya.

“Hm… Aku benci bunga warna putih sekarang. Rambut hitamku nanti akan terlihat kotor kalau ada putih-puith. Sepertinya bunga ungu bakal keliatan bagus.”

Sayang sekali, padahal aku tau persis dia dulu sangat menyukai bunga warna putih dan biru. Saat kami masih kecil, Luciel selalu membuatkan Uriel dan adik kami yang lain mahkota atau hiasan dari bunga yang menurutnya sewarna dengan mereka.

Aku mengangguk begitu mendengar jawaban Luciel, kemudian berjalan ke vas bunga tempat aku menyimpan beberapa bunga segar. Bunga-bunga itu kupetik dan kusematkan pada kepangan Luciel, memberikan kesan yang benar-benar indah.

“Sudah selesai,” ucapku, berjalan ke sisi kanan dan membiarkan saudaraku berdiri dari kursi. Luciel melihat dirinya sendiri di cermin, kemudian berbalik untuk melihat…

Aku tau apa yang ada di pikirannya sekarang: Bunga-bunga putih! Michael bajingan.

“Bagus. Sekarang aku kelihatan ketombean,” dengus Luci kesal, aku tertawa.

“Pft, ahaha! Sudah berapa lama tidak mandi dan keramas?”

Alih-alih melihat wajahnya yang kesal, saat ini ekspresinya berubah menjadi senyuman yang sangat hangat. Darah rasanya dipompa dengan begitu cepat ke seluruh tubuhku, sudah berapa lama aku tidak tertawa lepas seperti ini?

Tawaku mereda digantikan dengan sebuah senyuman, “aku akan memanggil yang lain untuk sarapan pagi. Nanti kita bicara lagi, ya?”

Luciel mengangguk, “aku akan segera turun ke ruang makan setelah ini.”

“Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu nanti, Luci.”

“Dah, Michi!~”

Aku melangkahkan kakiku cepat keluar ruangan, jantungku berdegup karena gugup. Aku berharap Luciel dapat mengerti apa yang hendak aku sampaikan padanya tadi.

Di sisi lain, Luciel menatap rambutnya di cermin sekali lagi. Bunga berwarna putih ini…

Hyacinth. Bunga yang melambangkan rasa bersalah dan permintaan maaf. Ia cekikikan kecil, Michael memang tidak pernah bisa mengutarakan perasaannya lewat kata-kata.

༺ ⸸ ༻

bottom of page